Rabu, 04 Mei 2011

PERANAN PERS YANG BEBAS DAN BERTANGGUNG JAWAB

HAKIKAT PERS UMUMNYA DAN PERS DI INDONESIA
Sejarah intelektual menyepakati suatu pendapat yang dimaksudkan dengan pers menurut Mott (1969) adalah: variasi media yang dikelompokan atas lima: (1) newspaper (surat kabar); (2) general magazine and review (majalah umum dan laporan); (3) class, trade, and proffesionals journals (jurnal untuk satu kelompok masyarakat tertentu, profesi tertentu, kepentingan perdagangan; (4) news magazine digest (majalah berita, dan majalah telaahan); (5) radio dan televisi.
Dari kelima pengelompokan itu penulis menganalisis pers dalam artian pers cetak untuk umum (surat kabar dan majalah).
Secara teoritik peranan pers pada umumnya menggambarkan fungsi utama dari publisistik sebagaimana diungkapkan Susanto (1977) yaitu: (1) memberikan penerangan (informasi); (2) mendidik; (3) menghibur; (4) mempengaruhi.
Begitu luas jangkauan peranan pers di tengah-tengah masyarakat serta pemerintah maka menurut Fischer (1968) bahwa pers dapat menciptakan pengaruh timbal balik antara pers, masyarakat, pemerintah. Maka pers sebagai media komunikasi massa memiliki aspek lain yaitu “ubiquitous” (serba hadir) dan serba makna.
Mengapa ada sifat pers seperti itu? Arifin (1986) mengemukakan bahwa sifat serba hadir berarti peranan pers itu ada dimana saja, kapan saja, pada suasana dan konteks apapun; sedangkan sifat serba makna berarti komunikasi secara operasional dapat berarti jamak (terlihat dalam pengkajian definisinya antara lain dapat berarti, proses, peristiwa, ilmu, kiat, dipahami, hubungan/saling berhubungan, saling pengertian, dan pesan).
Justru itulah maka mempelajari pers dari segi sejarah intelektual sama dengan mempelajari perkembangan kesadaran masyarakat. Karena pers dapat merupakan cermin yang memantulkan lukisan masyarakat dengan segala dinamikanya, bahkan dapat menghidangkan filsafat yang memberi landasan paradigma tentang apa yang sedang terjadi. Akibatnya kita tidak perlu merasa heran bahwa warna isi pers itu bervariasi tentang semua bidang kehidupan manusia. Sampai disini benarlah ungkapan Mc.Luhan bahwa, media massa umumnya bertindak sebagai the extension of man(pernyataan keberadaan manusia) dalam wujud pembawaan kodratnya misalnya dalam hasrat menyatakan diri, berdialog, menyerap apa yang dilihat dan didiengarnya dan bersatu, bergaul dengan lingkungan dan dengan proses itu pers menyatakan dan mengembangkan perikehidupan bermasyarakat. Kalau ini dikehendaki maka tanpa jaminan kebebasan dan keleluasaan dalam memilih, mencari, mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan informasi yang diperolehnya dari penguasa/pemerintah maka pers sulit bertanggung jawab karena pers sendiri tidak bebas bertindak.
Dalam merealisasikan kebebasan itu tentu ditempuh berbagai cara yang sesuai dengan konstitusi dan sistem hukum nasional, disinilah fungsi regulasi dan pemerintah dimunculkan.
Menurut Bridge (1983) bahwa, satu hal yang pasti, komunikasi menjadi demikian pentingnya di negara yang sistem medianya juga dimiliki oleh swasta, sehingga negara membuat pengaturan yang mengikat. Dan kalau terjadi kontrol pemerintah maka apa yang harus dipertahankan pers?
Maka Rauel Barlow seraya mengutip pendapat Alexander Hamilton dalam Mott (1969) bahwa, kebebasan pers itu sebenarnya terdiri dari pernyataan pikiran-pikiranku dalam menyebarluaskan kebenaran, dari dorongan yang murni demi kepentingan keadilan yang dicita-citakan, walaupun harus mencela pemerintah maupun pribadi para pemimpinnya sekalipun. Sehingga sikap pers harus melawan dengan mempertahankan keberadaannya secara esensial.
Permasalah pers pada umumnya sebagaimana dilukiskan di atas terjadi pula di Indonesia, hanya tentunya dipengaruhi kuat oleh warna ideologi negaranya Pancasila.
Dalam UU Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1982, pers diartikan sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang menjalankan fungsi-fungsi tertentu. Yang menarik adalah perubahan beberapa terminologi. Misalnya perkataan revolusi (sebelum dalam UU Nomor 11 Tahun 1966) diganti dengan perjuangan nasional. Pancasila, pembangunan. Dua kata terakhir ini dalam tiga dekade terakhir menyebarluas sebagai konsep kunci, bukan saja oleh pers tetapi dalam kehidupan masyarakat. Dan semua kekuatan masyarakat (termasuk pers) diarahkan untuk senantiasa mengamankannya, ini membuktikan bahwa ikatan keberadaan pers sangat kuat ditentukan oleh mati hidupnya suatu ideologi maupun pengalaman ideologi (pembangunan sebagai pengamalan ideologi).
Demikian pula, misalnya pers Pancasila sebagai suatu paradigma, pers Indonesia merupakan kelanjutan perubahan dan perkembangan gagasan intelektual masa lalu yang masih relevan untuk terus dikaji secara intelektual. Itulah sebabnya maka pertanyaan mengenai apa, mengapa, bagaimana seharusnya pers Pancasila jaul lebih penting secara akademik yang merangsang kita untuk mencari rumusan yang pas.

PENGARUH SISTEM IDEOLOGI TERHADAP SISTEM PERS
Mott (1969) membagi sistem pers (dalam hubungannya dengan pemerintah) atas dua macam. Pertama, kelompok yang mempunyai kemungkinan mengkritik dan mencela pemerintah (pers bebas) (1) pers semi bebas; (2) pers sistem komunis Soviyet; (3) dan sistem fasis (contohnya dibawah Hitler dan Mussolini). Kedua, terdiri dari tipe pers yang berpegang teguh pada prinsipnya (fungsinya) dengan tekanan pada opini, dan pers yang menekankan pada informasi dari berita/news. Kemudian yang bertipe fungsi opini adalah yang tertua karena dimanfaatkan secara sepihak oleh pemerintah, dan tipe yang menekankan pada news banyak dianut di negara kapitalis/liberal.
Kedua kelompok ini menurut (Wright, 1986); (Effendy, 1986); dan (Wilson, 1989), secara tepat membagi dalam empat kategori, yaitu (1) pers bersistem komunis Soviyet; (2) liberal; (3) otoriter; (4) tanggung jawab sosial.
Isi ringkasan keempat sistem pers itu adalah sebagai berikut:
1. Sistem otoriter mengajarkan bahwa baik media pemerintah maupun swasta tergantung pada pemerintah. Pengekangan dilakukan melalui berbagai metode, misalnya prosedur-prosedur izin, sensor yang keras;
2. Sistem liberal, mengajarkan bahwa kebebasan media tanpa batas kontrol dari pemerintah;
3. Teori komunis Soviyet, mengajarkan peranan pers (radio, televisi, dan film) harus memperoleh mandat penuh dari partai komunis/pemerintah karena fasilitas itu harus digunakan untuk propaganda partai tentang manfestonya;
4. Teori tanggung jawab sosial, mengajarkan tanggung jawab moral dan sosial orang ataupun lembaga-lembaga yang menjalankan media massa. Diantara tanggung jawab ini termasuk kewajiban memberikan informasi dan diskusi terhadap publik tentang masalah-masalah sosial yang penting dan menghindari aktivitas-aktivitas yang merugikan masyarakat.
Bagaimana sistem pers di Indonesia? Ini lah pertanyaan mendasar dari kajian ini. Kaitan pers Indonesia dengan sejarah sosial politik yang membentuknya sangatlah erat.
Arifin (1988) berpendapat bahwa: pers Indonesia/pers nasional yang sekaligus membedakannya dengan pers Cina maupun pers Belanda, yaitu adanya konsep perjuangan dan kerakyatan. Karakteristik pers perjuangan nampak pada orientasinya pada nasionalisme, kemerdekaan dan kerakyatan, tidak komersial. Dengan kata lain, pers lebih mengutamakan aspek politik dan ideologis daripada aspek bisnisnya. Dan ini dibuktikan dengan definisi keberadaannya dalam UU Pokok Pers seperti yang diuraikan diatas.
Di sisi lainkonsep rakyat/kerakyatan yang mendominasi alam pikiran tokoh-tokoh pers dan pimpinan nasional terlihat dengan jelas antara lain pada nama motto dari surat kabar, misalnya nama Pikiran Rakyat, Pedoman Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Duta Masyarakat, Panji Masyarakat. Pergeseran-pergeseran kata-kata kunci dalam UU tersebut sebenarnya merupakan obyek kajian intelektual sendiri yang menarik untuk dikaji.
Lalu bagaimana posisi pers Indonesia sekarang ini? Apakah tetap mewakili aspirasi rakyat dan terus menerus mengkritik pemerintah secara berlebihan ataupun tetap hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah?
Kleden (1989) mengungkap bahwa setelah fase perjuangan selesai pers Indonesia memasuki era pers pembangunan. Pers pembangunan (untuk menerangkan pendapat Oetama) mempunyai tiga yugas utama, yaitu memberikan informasi tentang pembangunan, melakukan interpretasi terhadap informasi yang diberikan, dan selanjutnya mendukung informasi dan interpretasi itu dengan tulisan yang bersifat promosi supaya informasi tersebut diterima dan dijalankan secara operasional.
Dalam hal ini, maka pers pembangunan memperlihatkan beberapa perubahan yang menarik. Pertama, dibandingkan dengan pers perjuangan yang lebih memusatkan perhatian pada masalah sosial politik, maka pers pembangunan memperluas perhatiannya juga ke bidang sosial ekonomi. Kedua, jika pers perjuangan sangat menekankan segi kontrol, maka pers pembangunan memberi perhatian besar kepada segi promosi dan persuasi. Ketiga, Jika dalam perannya yang konvensional pers mempertahankan suatu jarak dengan pihak eksekutif agar dapat mengawasinya, maka dalam pers pembangunan hubungan pers dengan eksekutif tampaknya lebih dekat karena sama-sama berkepentingan terhadap gagasan pembangunan dan pelaksanaannnya. Dalam kasus Indonesia muncul kemudian gagasan bahwa pers tidak lagi cukup hanya berperan sebagai kritikus pemerintah, tetapi juga harus menjadi mitra pemerintah.
Kleden (1989) juga melanjutkan bahwa, pada titik inilah terlihat bahwa pers Indonesia mencoba menempuh suatu via media (jalan tengah) antara pers yang liberal dengan pers yang hidup di negara-negara totaliter. Jika di negara-negara liberal pers menjadi “watch-dog” terhadap pemerintah, dan jika di negara-negara totaliter pers menjadi perpanjangan tangan pemerintah, maka pers Indonesia berusaha untuk menjadi mata pemerintah dengan tetap mempertahankan fungsi kontrol sosialnya.
Oleh karenanya, kita harus melakukan eksperimen yang terus menerus terhadap suatu sistem pers Indonesia yang ideal yakni sistem pers Pancasila yang paling tidak memiliki ciri khas tersendiri dan bukan gabungan elaktik antara unsur-unsur yang baik dari dua sistem yang telah disebutkan itu. Ini juga berarti bahwa pers Pancasila selain merupakan sebuah eksperimen ideologis (yaitu bagaimana menerjemahkan ideologi Pancasila dalam kehidupan pers), sebetulnya sekaligus eksperimen sosial-budaya (yaitu bagaimana menerapkan asas-asas pers umpamanya ke dalam sistem sosial dan sistem budaya masyarakat Indonesia).
Apabila ciri ini dipahami dan terus menerus dikaji maka terbinalah hubungan pers dengan pemerintah, pers dengan rakyat dalam mempertahankan tatanan ideologi Pancasila. Benarlah menurut Oetama (1989) bahwa hubungan pers dengan pemerintah dalam sistem demokrasi Indonesia dewasa ini buknlah tunduk, tidak juga bermusuhan, tetapi sering disebut “partnership”, interaksi postif dan oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) di Menado diusulkan untuk diubah menjadi interaksi konstruktif.
Adakah sumbangan ilmu-ilmu sosial khususnya komunikasi dalam dilematis peranan pers yang bebas dan bertanggung jawab seperti digambarkan tersebut?

PENDEKATAN PARADIGMA ILMU-ILMU SOSIAL
Menarik bahwa suatu pemikiran sosial yang dianut dan diterima secara luas tidak selalu yang paling unggul dan benar. Sebaliknya, tidak setiap pemikiran yang seakan dilupakan orang, dengan sendirinya kurang unggul atau tidak banyak mengandung kebenaran. Yang dapat dipastikan adalah bahwa gagasan yang diterima luas adalah yang paling siap memenuhi suatu kebutuhan sosial. Pada artian inilah terjadi konflik antara epistemologi pengetahuan berdasarkan ukuran-ukuran rasional; sedangkan yang lain ingin menyelidiki asal usul sosial dan pengaruh sosial dari sebuah sistem pengetahuan, di mana objektivitas dianggap tercapai bila semua prasangka sosial yang ada dalam sebuah paham sudah dieliminasikan.

KESIMPULAN
Kedudukan pers umumnya dan pers Indonesia khusunya merupakan sarana sosialisasi (per excellentium) dimana semua jenis pesan yang pada awalnya merupakan milik pribadi telah disosialisasikan menjadi milik umum ketika pesan berpindah ke media massa/pers, sehingga menjadi forum publik.
Dilema yang dihadapi pers Indonesia antara lain, dari segi historis (sejarah) pers adalah alat perjuangan nasional melawan penjajah sehingga apakah pada masa pemerintahan kini sikap mengkritik masih dominan, ataukah mengambil sikap melaksanakan fungsi secara esensial pers itu sendiri.
Pengaruh penerapan sistem pers di dunia, ikut memberi warna (termasuk Indonesia menjadi dilematis). Ada empat teori tentang sistem pers, (1) sistem otoriter; (2) sistem liberal; (3) sistem komunis Soviyet; (4) sistem tanggung jawab sosial. Pers Indonesia nampaknya mengambil jalan tengah yang telah menggabungkan secara efektif unsur-unsur pasitif dari sistem otoriter dengan sistem liberal, yang dalam pelaksanaannya mengambil nama “tanggung jawab sosial (social responsibility) sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawab”.
Pendekatan paradigma ilmu-ilmu sosial dengan empat teori, yaitu (1) teori ilmu pengetahuan sosial; (2) teori normatif; (3) teori normatif-praktis; (4) teori common sense. Telah memberikan masukan dalam memecahkan dilema pers Indonesia sebagai suatu eksperimen ideologis maupun eksperimen sosial udaya. Diharapkan model ini akan meningkatkan tanggung jawab pers Indonesia dalam fungsi-fungsi, dan juga ikut meletakan peranan lain dari sistem sebaran informasinya untuk legitimasi nilai, kontrol sosial, dan rekayasa sosial.

Sabtu, 26 Maret 2011

KEBUDAYAAN SUNDA

Latar Belakang
Dalam Pemakaian sehari-hari perkataan “kebudayaan” berarti kualitas yang wajar yang dapat diperoleh dengan mengunjungi cukup banyak sandiwara/teater dan konser tarian dan mengamati karya seni pada sekian banyak gedung kesenian. Tetapi seorang ahli antropologi, mempunyai definisi yang lain. Dalam penjelasan Ralph Linton menjelaskan bagaimana definisi kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari berbeda dari definisi seorang ahli antropologi :
“Kebudayaan adalah seluruh cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Dalam arti cara hidup masyarakat itu kalau kebudayaan diterapkan pada cara hidup kita sendiri, maka tidak ada sangkut pautnya dengan membaca karya sastra yang terkenal atau memainkan piano. Untuk seorang ahli ilmu sosial kegiatan seperti itu merupakan elemen-elemen belaka dalam keseluruhan kebudayaan kita. keseluruhan ini mencakup kegiatan-kegiatan duniawi seperti mencuci piring dan untuk tujuan mempelajari kehidupan hal ini sama derajatnya dengan “hal-hal yang lebih halus dalam kehidupan”. Karena itu , bagi seorang ahli ilmu sosial tidak ada masyarakat atau perorangan yang tidak berkebudayaan. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan, bagaimanapun sederhananya kebudayaan itu dan setiap manusia adalah makhluk yang berbudaya dalam arti mengambil bagian dalam sesuatu kebudayaan”.
Tidak ada satu masyarakat pun yang tidak memiliki kebudayaan. Begitu pula sebaliknya tidak akan ada kebudayaan tanpa adanya masyarakat. Ini berarti begitu besar kaitan antara kebudayaan dengan masyarakat. Melihat realita bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural maka akan terlihat pula adanya berbagai suku bangsa di Indonesia. Tiap suku bangsa inilah yang kemudian mempunyai ciri kahas kebudayaan yang berbeda-beda. Suku Sunda merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Jawa. Sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia, suku Sunda memiliki kharakteristik yang membedakannya dengan suku lain. Keunikan kharakteristik suku Sunda ini tercermin dari kebudayaan yang mereka miliki baik dari segi agama, mata pencaharian, kesenian dan lain sebagainya.

Pembahasan
Secara antropologi-budaya dapat dikatakan bahwa yang disebut suku bangsa Sunda itu adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa-ibu bahasa sunda serta digunakannya dalam kehidupan sehari-hari, dan berasal dan bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah yang sering disebut juga Tanah Pasundan atau Tatar Sunda, yang secara kultural daerah pasundan itu disebelah timur dibatasi oleh sungai-sungai cilosari dan citanduy yang merupakan perbatasan bahasa.
Dewasa ini bahasa sunda dipakai secara luas dalam masyarakat di Jawa Barat. Dipedesaan bahasa pengantar adalah bahasa sunda, sedangkan di kota-kota bahasa sunda terutama digunakan dalam lingkungan keluarga, didalam percakapan antara kawan dan kenalan yang akrab, serta ditempat-tempat umum dan resmi di antara orang-orang yang saling mengetahui bahwa mereka itu menguasai bahasa sunda.
Kehidupan keagamaan orang sunda pada masa kini adalah agama Islam yang merupakan agama dari sebagian orang sunda, tetapi dalam kehidupan keagamaan, orang sunda sebagai juga pada suku-suku bangsa lain yang ada di Indonesia, terdapat unsur-unsur yang bukan Islam. Orang sunda kebanyakan patuh menjalankan kewajiban beragama seperti halnya melaksanakan rukun Islam (syahadat, shalat, shaum atau puasa, zakat, dan naik haji), akan tetapi kepercayaan orang sunda pada cerita-cerita mitos dan ajaran-ajaran agama sering diliputi oleh kekuatan-kekuatan gaib.
Bagi kita (selaku orang sunda) yang hidup dalam zaman modern ini, yang telah terbiasa menggunakan logika ilmu pengetahuan, dunia mitos seolah-olah mengingkari logika itu, tetapi cerita-cerita mitos itu setelah ditelaah dan didekati lebih dalam lagi dengan ukuran-ukurannya tersendiri ternyata banyak terdapat suatu makna yang mempunyai nilai penting dalam alam pikir orang sunda sebagai kebudayaan. Disamping agama, mitos bagi orang sunda memiliki fungsi untuk mengatur sikap dan sistem nilai manusia, mempertahankan tertib sosial dalam lingkungan masyarakat yang belum banyak menggunakan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan modern. Dan itulah yang menjadi penyebab orang sunda masa kini menjadi orang-orang yang patuh dan taat pada ajaran agama Islam tetapi sering pula melaksanakan upacara-upacara yang tidak terdapat dalam agama bahkan ada juga yang tidak dibenarkan Islam, karena Islam dan adat kebudayaan orang sunda itu tidak dapat dipisahkan (seolah-olah menjadi satu paket).
Sistem kekerabatan orang sunda dipengaruhi oleh adat yang diteruskan secara turun temurun dan oleh agama Islam. Karena orang sunda telah lama memeluk agama Islam, maka susah kiranya untuk memisahkan mana adat dan mana agama, dan biasanya kedua unsur itu terjalin dengan erat menjadi adat kebiasaan dan kebudayaan orang sunda. Mengenai prinsip garis keturunan dapat dikatakan bahwa sistem kekerabatan di Tatar Sunda adalah bersifat bilateral, yang dimaksud dengan kekerabatan bilateral menurut Ukun Surjaman dalam karangannya yang berjudul Istilah Klasifikasi Kekerabatan pada Orang jawa dan Sunda dalam Susunan Masyarakat adalah :
“garis ketrunan yang menghitungkan hubungan kekerabatan melalui orang laki-laki dan wanita. Adapun sistem istilah kekerabatan pada orang sunda menunjukan ciri-ciri bilateral dan generasional”
Bagi orang sunda sebutan kekerabatan pihak laki-laki tidak berbeda dengan sebutan kekerabatan bagi kerabat pihak perempuan.
Masalah pendidikan dan teknologi di dalam masyarakat suku Sunda sudah bisa dibilang berkembang baik.Ini terlihat dari peran dari pemerintah Jawa Barat. Pemerintah Jawa Barat memiliki tugas dalam memberikan pelayanan pembangunan pendidikan bagi warganya, sebagai hak warga yang harus dipenuhi dalam pelayanan pemerintahan. Visi Pemerintah Jawa Barat, yakni “Dengan Iman dan Takwa Jawa Barat sebagai Provinsi Termaju di Indonesia dan Mitra Terdepan Ibukota Negara” merupakan kehendak, harapan, komitmen yang menjadi arah kolektif pemerintah bersama seluruh warga Jawa Barat dalam mencapai tujuan pembangunannya. Pembangunan pendidikan merupakan salah satu bagian yang sangat vital dan fundamental untuk mendukung upaya-upaya pembangunan Jawa Barat di bidang lainnya. Pembangunan pendidikan merupakan dasar bagi pembangunan lainnya, mengingat secara hakiki upaya pembangunan pendidikan adalah membangun potensi manusia yang kelak akan menjadi pelaku pembangunan. Dalam setiap upaya pembangunan, maka penting untuk senantiasa mempertimbangkan karakteristik dan potensi setempat. Dalam konteks ini, masyarakat Jawa Barat yang mayoritas suku Sunda memiliki potensi, budaya dan karakteristik tersendiri. Secara sosiologis-antropologis, falsafah kehidupan masyarakat Jawa Barat yang telah diakui memiliki makna mendalam adalah cageur, bageur, bener, pinter, tur singer. Dalam kaitan ini, filosofi tersebut harus dijadikan pedoman dalam mengimplementasikan setiap rencana pembangunan, termasuk di bidang pendidikan. Cageur mengandung makna sehat jasmani dan rohani. Bageur berperilaku baik, sopan santun, ramah, bertata krama. Bener yaitu jujur, amanah, penyayang dan takwa. Pinter, memiliki ilmu pengetahuan. Singer artinya kreatif dan inovatif.Sebagai sebuah upaya mewujudkan pembangunan pendidikan berfalsafahkan cageur, bageur, bener, pinter, tur singer tersebut, ditempuh pendekatan social cultural heritage approach. Melalui pendekatan ini diharapkan akan lahir peran aktif masyarakat dalam menyukseskan program pembangunan pendidikan yang digulirkan pemerintah
Masyarakat Sunda umumnya hidup bercocok tanam. Kebanyakan tidak suka merantau atau hidup berpisah dengan orang-orang sekerabatnya. Kebutuhan orang Sunda terutama adalah hal meningkatkan taraf hidup. Secara umum kemiskinan di Jawa Barat disebabkan oleh kelangkaan sumber daya manusia. Maka yang dibutuhkan adalah pengembangan sumber daya manusia yang berupa pendidikan, pembinaan, dll.
Kesenian yang dimiliki oleh suku sunda sangat banyak dan beragam, tanah Sunda terkenal dengan kesenian Wayang Golek-nya. Wayang Golek adalah pementasan sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh seorang sutradara merangkap pengisi suara yang disebut Dalang. Seorang Dalang memiliki keahlian dalam menirukan berbagai suara manusia. Seperti halnya Jaipong, pementasan Wayang Golek diiringi musik Degung lengkap dengan Sindennya. Wayang Golek biasanya dipentaskan pada acara hiburan, pesta pernikahan atau acara lainnya. Waktu pementasannya pun unik, yaitu pada malam hari (biasanya semalam suntuk) dimulai sekitar pukul 20.00 – 21.00 hingga pukul 04.00 pagi. Cerita yang dibawakan berkisar pada pergulatan antara kebaikan dan kejahatan (tokoh baik melawan tokoh jahat). Ceritanya banyak diilhami oleh budaya Hindu dari India, seperti Ramayana atau Perang Baratayudha. Tokoh-tokoh dalam cerita mengambil nama-nama dari tanah India.Dalam Wayang Golek, ada ‘tokoh’ yang sangat dinantikan pementasannya yaitu kelompok yang dinamakan Purnakawan, seperti Dawala dan Cepot. Tokoh-tokoh ini digemari karena mereka merupakan tokoh yang selalu memerankan peran lucu (seperti pelawak) dan sering memancing gelak tawa penonton. Seorang Dalang yang pintar akan memainkan tokoh tersebut dengan variasi yang sangat menarik.



Pendapat Penulis
Suku Sunda merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Jawa. Suku Sunda memiliki karakteristik yang unik yang membedakannya dengan masyarakat suku lain. Ke-khas-an karakteristiknya itu tercermin dari kebudayaan yang dimilikinya baik dari segi agama, bahasa, kesenian, adat istiadat, mata pencaharian, dan lain sebagainya.
Kebudayaan yang dimiliki suku Sunda ini menjadi salah satu kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang perlu tetap dijaga kelestariannya. Untuk itu dengan membuat makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah pengantar antropologi, juga saya (sebagai orang sunda) diharapkan dapat mengetahui lebih jauh mengenai kebudayaan suku Sunda tersebut yang merupakan kebudayaan saya (sebagai orang sunda) sendiri sebagai penerus kebudayaan sunda.Selain itu juga dapat menambah wawasan serta pengetahuan yang pada kelanjutannya dapat bermanfaat dalam dunia kependidikan.

Referensi
Koenjaraningrat,Prof.Dr.2001.”Pengantar Antropologi”.Jakarta:Gramedia
Koenjaraningrat,Prof.Dr.2002.”Manusia dan Kebudayaan di Indonesia”.Jakarta:Gramedia
Ihromi,T.O.1994.”Pokok-pokok Antropologi Budaya”.Jakarta:Gramedia
Universitas Padjajaran.2007.”Artikel tentang Masyarakat Jawa Barat”. UNPAD

Selasa, 01 Maret 2011

KONTEKS-KONTEKS KOMUNIKASI

Komunikasi tidak berlangsung dalam ruang hampa-sosial, melainkan dalam konteks atau situasi tertentu. Secara luas konteks disini nerarti semua faktor di luar orang-orang yang berkomunikasi, yang terdiri dari: pertama, aspek bersifat fisik seperti iklim, cuaca, suhu udara, bentuk ruangan, warna dinding, penataan tempat duduk, jumlah peserta komunikasi, dan alat yang tersedia untuk menyampaikan pesan; kedua, aspek psikologis, seperti: sikap, kecenderungan, prasangka, dan emosi para peserta komunikasi; ketiga, aspek sosial, seperti: norma kelompok, nilai sosial, dan karakteristik budaya; dan keempat, aspek waktu, yakni kapan berkomunikasi (hari apa, jam berapa, pagi, siang, sore, malam).
Banyak pakar komunikasi mengklasifikasikan komunikasi berdasarkan konteksnya. Sebagaimana juga definisi komunikasi, konteks komunikasi ini diuraikan secara berlainan. Istilah-istilah lain juga digunakan untuk merujuk pada konteks (context) yang lazim, situasi (situation), keadaan (setting), arena, jenis (kind), cara (mode), pertemuan (encounter), dan kategori. Menurut Verderber misalnya, konteks komunikasi terdiri dari: konteks fisik, konteks sosial, konteks historis, konteks psikologis, dan konteks kultural.

Indikator paling umum untuk mengklasifikasikan komunikasi berdasarkan konteksnya atau tingkatnya adalah jumlah peserta yang terlibat dalam komunikasi. Maka dikenallah komunikasi intrapribadi, komunikasi diadik, komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok (kecil), komunikasi publik, komunikasi organisasi, dan komunikasi massa.

KOMUNIKASI INTRAPRIBADI

Komunikasi intrapribadi (intrapersonal comunication) adalah komunikasi dengan diri-sendiri. Contohnya berpikir. Komunikasi ini merupakan landasan komunikasi antarpribadi dan komunikasi dalam konteks-konteks lainnya, meskipun dalam disiplin komunikasi tidak dibahas secara rinci dan tuntas. Dengan kata lain komunikasi intrapribadi ini melekat pada komunikasi dua-orang, tiga-orang, dan seterusnya, karena sebelum berkomunikasi dengan orang lain kita biasanya berkomunikasi dengan diri-sendiri (mempersepsi dan memastikan makna pesan orang lain), hanya saja caranya sering tidak disadari. Keberhasilan komunikasi kita dengan orang lain bergantung pada keefektifan komunikasi kita dengan diri-sendiri.

KOMUNIKASI ANTARPRIBADI

Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap-muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal. Bentuk khusus dari komunikasi antarpribadi ini adalah komunikasi diadik (dyadic comunication) yang melibatkan hanya dua orang, seperti suami-istri, dua sejawat, dua sahabat dekat, guru-murid, dan sebagainya. Ciri-ciri komunikasi diadik adalah pihak-pihak yang berkomunikasi berada dalam jarak yang dekat, pihak-pihak yang berkomunikasi mengirim dan menerima pesan secara simultan dan spontan baik secara verbal maupun nonverbal. Keberhasilan komunikasi menjadi tanggung jawab para peserta komunikasi. Kedekatan pihak-pihak yang berkomunikasi akan tercermin pada jenis-jenis pesan atau respons nonverbal mereka, seperti sentuhan, tatapan mata yang ekspresif, dan jarak fisik yang sangat dekat.

KOMUNIKASI KELOMPOK

Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama, yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan yang bersama (adanya saling ketergantungan ), mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut, meskipun setiap anggota boleh jadi punya peran yang berbeda. Kelompok ini misalnya adalah keluarga, tetangga, kawan-kawan terdekat, kelompok diskusi, kelompok pemecah suatu permasalahan, atau suatu komite yang tengah rapat untuk mengambil suatu keputusan. Dengan demikian komunikasi kelompok biasanya merujuk pada komunikasi yang dilakukan kelompok kecil (small group communication), jadi bersifat tatap-muka. Umpan balik (feedback) dari seorang peserta komunikasi kelompok masih bisa diidentifikasikan dan ditanggapi langsung oleh peserta lainnya. Komunikasi kelompok dengan sendirinya melibatkan juga komunikasi antarpribadi, karena itu kebanyakan teori komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok.

KOMUNIKASI PUBLIK

Komunikasi publik (public comunication) adalah komunikasi antara seorang pembicara dengan sejumlah besar orang (khalayak), yang tidak bisa dikenali satu persatu. Komunikasi demikian sering juga disebut pidato, ceramah atau kuliah umum. Beberapa pakar komunikasi menggunakan istilah komunikasi kelompok besar (large group communication) untuk komunikasi ini.

Komunikasi Publik biasanya berlangsung lebih formal dan lebih sulit daripada komunikasi antarpribadi atau komunikasi kelompok, karena komunikasi publik menuntut persiapan pesan yang cermat, keberanian, dan kemampuan menghadapi sejumlah orang besar. Daya tarik fisik pembicara bahkan sering merupakan faktor penting yang menentukan efektivitas pesan, selain keahlian dan kejujuran pembicara. Tidak seperti komunikasi antarpribadi yang melibatkan pihak-pihak yang sama-sama aktif, satu pihak (pendengar) dalam komunikasi publik cenderung pasif. Umpan balik yang diberikan terbatas, terutama umpan balik bersifat verbal. Umpan balik nonverbal lebih jelas diberikan orang-orang yang duduk di jajaran depan, karena merekalah yang paling jelas terlihat. Sesekali pembicara menerima umpan balik bersifat serempak, seperti tertawa atau tepuk tangan. Ciri komunikasi publik adalah terjadi di tempat umum (publik).

KOMUNIKASI ORGANISASI

Komunikasi organisasi (organizational communication) terjadi dalam suatu organisasi, bersifat formal dan juga informal, dan berlangsung dalam jaringan yang lebih besar daripada komunikasi kelompok. Oleh karena itu, organisasi dapat diartikan sebagai kelompok  dari kelompok-kelompok. Komunikasi organisasi seringkali melibatkan juga komunikasi diadik, komunikasi antarpersonal, dan ada kalanya juga komunikasi publik. Komunikasi formal adalah komunikasi menurut struktur organisasi, yakni komunikasi ke bawah, komunikasi ke atas, dan komunikasi horisontal, sedangkan komunikasi informal tidak bergantung pada struktur organisasi, seperti komunikasi antarsejawat, juga termasuk selentingan dan gosip.

KOMUNIKASI MASSA

Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang menggunkan media massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi), berbiaya relatif mahal, yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, anonim, dan heterogen. Pesan-pesannya bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak, dan selintas (khususnya media elektronik). Meskipun khalayak ada kalanya menyampaikan pesan kepada lembaga (dalam bentuk saran-saran yang sering tertunda), proses komunikasi didominasi oleh lembaga, karena lembagalah yang menentukan agendanya. Komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, komunikasi publik, dan komunikasi organisasi berlangsung juga dalam proses untuk mempersiapkan pesan yang disampaikan media massa ini.

Jumat, 18 Februari 2011

PROFIL SAYA

Nama saya Iman Suryaman, lahir di Bandung pada tanggal 08 Maret 1990.
Saya adalah manusia biasa seperti layaknya manusia pada umumnya.
Saya adalah  anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan keluarga yang sederhana tapi alhmdulillah bahagia dan sejahtera dan tinggal di rumah kedua orang tua, tepatnya di daerah Bandung Selatan yaitu di jalan Manggahang II RT.05/07 kelurahan Manggahang, kecamatan Baleendah, kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Saya merupakan alumni dari sekolah :
Sekolah Dasar di SD N Riunggunung, kab. Bandung lulus tahun ajaran 2002,
Sekolah Menengah Pertama di SMP N 1 Dayeuhkolot, kab. Bandung lulus tahun ajaran 2005,
Sekolah Menengah Kejuruan di SMK Prakarya Internasional, kota Bandung lulus tahun ajaran 2008.
Saya  sekarang masuk kuliah pada tahun ajaran 2009 di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, dengan mengambil program studi Ilmu Komunikasi HUMAS dan sekarang menginjak semester IV (empat).
Cita-cita saya ingin mengubah Indonesia menjadi negara "Bersih" dari berbagai hal, terutama dalam hal "Birokrasi" di Indonesia yang masih "Kotor" dikarenakan masih banyak PUNGLI (pungutan Liar), KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
Minat saya ingin menjadi Anggota Dewan, Pegawai Negeri Sipil, Fotografer, dan Pengusaha.